Dari sebuah
BLOQ akhwat,dan sangat bermanfaat untuk aktifis dakwa
“Itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah
kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu” (Ali-Imran: 60) ——————-
Taaruf Unik
Seorang ikhwan yang kuliah di semester akhir ber-azzam untuk
menyempurnakan separuh dien-nya. Sebagaimana biasa, beliau pun menghubungi
ustadnya dan memulai proses dari awal sampai akhirnya tiba saatnya untuk
taaruf, yaitu dipertemukan dengan calonnya. Tibalah hari dan jam yang telah
ditentukan, dengan semangat seorang aktivis, beliau datang tepat waktu di
sebuah tempat yang telah di janjikan ustad. Taaruf pun dimulai, sang akhi duduk
disebelah murobby, sementara agak jauh di depannya sang akhwat di temani murobbiyahnya
dengan posisi duduk menyamping menjauhi sudut pandangan si ikhwan.
Setelah sekian lama berlalu tak ada pembicaraan, sang murobby
berbisik pelan pada mad’unya yang malu-malu ini, “Gimana akhi, sudah lihat
akhwatnya belum, sudah mantap apa belum?”
“Sudah Ustad, saya mantap sekali ustad, akhwatnya yang sebelah
kiri itu khan?”
Murobbynya kaget, wajahnya berubah agak kemerahan. ” Eh.. Gimana
antum! yang itu istri saya!” ——————-
Belum Menikah
Memang susah jadi ikhwan bujangan, pasti banyak sindiran dan
provokasi yang datang setiap saat untuk segera menyempurnakan separuh dien ini.
Apalagi jika ia juga berprofesi sebagai seorang murobbi, maka setiap pertemuan
mingguan pasti ada sindiran-sindiran kecil dari para mad’unya yang rata-rata
juga belum menikah. Sebenarnya sang murobbi ini nggak enak dan takut juga kalau
status bujangannya ini menghalangi anak buahnya untuk segera menikah.
Akhirnya pada suatu kesempatan mingguan, setelah sekian lama para
mad’unya menanyakan masalah yang satu itu, sang murobbipun berpesan singkat di
hadapan para ikwah di hadapannya, “Ikhwan sekalian, untuk masalah pernikahan..
jangan jadikan status ana sebagai penghalang kalian menikah, cukup jadikan saja
saya sebagai contoh atau tauladan..!”
Para ikhwan yang mendengar pun terbengong-bengong keheranan.
—————-
Kriteria ( 1 )
Seorang Akhi muda yang baru lulus S-2 di luar negeri ditanya oleh
ustadnya mengenai kriteria akhwat yang diinginkannya. Maka dengan segala
idealisme sebagai seorang Ikhwan, mulailah ia mencari-cari kriteria dan
menuliskan hampir lebih dari sepuluh kriteria, kemudian menyerahkan pada
ustadnya tersebut.
Kriterianya sangat bermacam-macam dan agak mengada-ada. Dari yang
pertama dia harus seorang akhwat, cantik, pendidikan tinggi, Suku Sunda,
berkacamata, lulus dengan cumlaude, hafal sekian juz. dan demikian seterusnya.
Setelah diproses oleh sang ustad, akhirnya ia diberitahu bahwa tidak ada akhwat
yang bisa sesuai dengan 10 syarat tesebut. Kemudian sang Ikhwan mengurangi
kriterianya menjadi 9, setelah diproses sekian minggu ternyata hasilnya nihil.
Kemudian sang ikhwan mengurangi satu lagi dari kriterianya menjadi delapan.
Dan setelah ditunggu sekian lama hasilnya tetap nihil karena
terlau ideal kata ustadnya. Dan demikian seterusnya setiap kali gagal sang
ikhwan mengurangi satu kriteria. Sampai setelah lewat lebih dari dua tahun sang
Ikhwan akhirnya menemukan pasangan hidupnya.Tapi itupun setelah kriterianya
tinggal satu! —————-
Kriteria ( 2 )
Seorang Akhi ditanya sang Murobby tentang kriteria seorang akhwat
yang diinginkannya. Setelah beberapa saat berpikir, sang Akhi menjawab dengan
malu-malu, “Yang pertama Ustad, dia harus seorang yang cukup cantik.”
“Astaghfirullah Akhi, bukannya Rasulullah menyuruh kita untuk
mengutamakan agamanya dulu?”
“Yang itu sih bukan masalah ustad?”
“Bukan masalah bagaimana akhi, ada hadist nya lho ..”
“Khan yang namanya akhwat pasti berjilbab gede, berarti semuanya
kita anggap sudah punya pemahaman agama yang cukup baik, sekarang tinggal
kriteria selanjutnya yaitu yang cantik.”
“Antum bisa aja cari alasan!” ————–
Kriteria (3)
Lagi-lagi seorang Ikhwah diinterogarsi oleh murobbinya tentang
calon akhwat yang diinginkannya. Ikhwan yang satu ini tampaknya sudah kena
blacklist sama murobbinya karena selalu menolak memberi kriteria ketika
ditanya.
“Akhi, ini yang terakhir kalinya, kira-kira seperti apa akhwat
yang antum inginkan menjadi pendamping antum dalam berdakwah?”
“Sudah deh ustad, ane nggak banyak minta, yang asal-asalan aja.”
Sang Murobbi pun bengong dibuatnya, “Asal-asalan bagaimana maksud
antum? Antum kan punya hak untuk mengajukan kriteria.”
“Maksud ane, asal sholihah, asal cantik, asal kaya, asal hafal
Qur’an, asal pintar, dan asal-asalan yang lainnya.”
“Pantes saja antum nggak nikah-nikah!” ————–
Poligami
Seorang Akhi baru saja melangsungkan pernikahan dakwahnya dengan
seorang akhwat yang sama-sama berjiwa aktivis pula. Minggu-minggu awal pun
dilalui dengan penuh ceria, Qiyamul-lail berjamaah, baca Al-Ma’tsurat
sama-sama, tabligh akbar bersama bahkan sampai demo dan longmarch pun dilakukan
sama-sama. Suatu ketika setelah pulang dari suatu acara seminar bertemakan
Poligami, pasangan ini terlibat dalam pembicaraan serius,
“Bagaimana Mi, pendapat Ummi tentang poligami secara umum?”
“Abi, secara umum poligami tidak ada nilai buruknya sebagaimana
yang digemborkan banyak orang, bahkan itu merupakan solusi satu-satunya lho.”
“Solusi bagaimana maksud Ummi?”
“Maksudnya, coba deh abi lihat, berapa perbandingan jumlah ikhwan
dan akhwat, di Jakarta aja lebih dari 1 : 7, kalau semuanya dapat satu-satu,
maka bagaimana nasib yang tiga lainnya? “
“Kalo Ummi sudah paham, bagaimana kalo kita yang memulai?”
“Maksud Abi bagaimana?”
“Abi mau poligami, tapi yang cariin calonnya ummi saja ya.”
“Apaa..! abi mau poligami?”
“Ya dong, khan Ummi sendiri yang bilang tadi, ingat ini juga
sunnah Nabi Muhammad SAW lho..”
“Wah ! kalo begitu abi salah menafsirkan Siroh Nabawiyah, khan
Rasul berpoligami setelah istri pertamanya Kahdijah ra, meninggal.
Nah! Jadi abi boleh menikah poligami sampai empat pun boleh, asal
setelah Ummi, istri pertama Abi ini, meninggal, OK ?”
“Ini pasti Murobbiyah ya yang ngajari..?”
Sang istri tersenyum manja penuh kemenangan —————–
Fatwa Menikah
Suatu sore di akhir Ramadhan, beberapa orang ikhwah tampak sedang
bercengkrama di teras masjid Baitul Hikmah, Cilandak sambil menunggu waktu
berbuka puasa. Mereka semua adalah para peserta I’tikaf Ramadhan yang datang
dari tempat yang berbeda-beda. Dan mereka kini terlibat pembicaraan serius
tentang kegiatan dakwah di kampusnya masing-masing. Beberapa saat kemudian
datang seorang Ikhwah dengan tergesa-gesa, membawa suatu kabar.
“Assalamualaikum wr wb, Ikhwan semua, antum sudah dengar belum ada
fatwa terbaru dari Dewan Syariah, baru keluar pagi tadi lho!”
Dengan serempak mereka menjawab, “Waalaikum salam, fatwa terbaru
tentang apa akhi ? “
“Tentang Menikah!”
“Menikah? apa saja isi fatwa tersebut?”
“Isinya cuma satu pasal tapi penting, bahwa mulai sekarang seorang
Ikhwan tidak boleh menikah dengan akhwat satu kampus.”
Semua ikhwah yang mendengar terkejut, dan saling memberi komentar
satu sama yang lain. “Apa alasannya akhi, khan tidak melanggar syar’i?”
“Kok bisa begitu, lalu bagaimana sama yang sudah berproses,
langsung dibatalkan ya ..”
“Ane kira ini untuk kepentingan perluasan dakwah juga ..”
“Kalau ane sih milih sami’na wa atho’na saja..”
Setelah beberapa saat terjadi tukar pendapat satu sama lain,
akhirnya sang Akhi yang datang bawa kabar tersebut dengan mimik serius
menjelaskan,
“Tenang Akhi.., fatwa tersebut memang harus di dukung dan ada
dalilnya kok, bukankah Syariah Islam membatasi seorang Ikhwan untuk menikah
hanya sampai dengan empat orang akhwat, maka bagaimana mungkin seorang ikhwah
mau menikah dengan ‘akhwat satu kampus’ yang jumlahnya ratusan ..!” ——————
Strategi Dakwah
Jalanan kota Jakarta siang itu, seperti biasa, macet. Bus P 4
jurusan BlokM – Pulau Gadung penuh dengan penumpang. Bus itu penuh penumpang,
sebagian diantaranya berdiri menggantung lengan. Bus merambat pelan seolah
masih menyimpan banyak fasilitas tempat duduk yang kosong. Satu demi satu artis
jalanan mulai unjuk gigi. Menghias panas terik mentari dengan lagu-lagu
bertemakan sosial dan kemasyarakatan. Kadang di hiasi sindiran ala politikus,
tapi kadang dinodai oleh lirik-lirik sendu yang kurang pantas dilantunkan.
Ada yang aneh terlihat. Seorang bapak-seperti dari Madura-
setengah baya memakai batik, peci, dan sarung -khas pendatang baru- duduk di
tepi jendela dengan tenang. Tetapi yang membuat semua penumpang terheran, bapak
itu asyik menjulurkan tangannya ke luar jendela. Bukan sekali dua kali, tapi
malah terus-terusan tanpa beban. Sementara penumpang lain mulai berteriak
memberi peringatan.
“Pak, Hati-hati.. tangan bapak dimasukkan bisa patah kena mobil
nanti,” seru seorang ibu yang duduk di sebelahnya.
“Pak, kemarin ada peristiwa seperti itu. Tangan seorang kakek
lepas saat terjulur keluar dan tersangkut pohon di tepi jalan.. hi.. ngeri,”
seorang lainnya ikut menakut-nakuti.
Pak Kondektur pun tak tinggal diam. Tampaknya kesabarannya sudah
menipis, aksen batak pun menambah ketegangan.
“Bah, ini orang tak tahu di untung, kalo tak lepas itu tangan,
matilah kau.”
Tapi sang Bapak tak bergeming sedikitpun. Tangannya masih asyik
terjulur dan mengayun-ayun di luar jendela. Sorot matanya yang lugu pun
terkesan percaya diri. Seolah ia tahu apa yang dilakukan dan apa akibatnya.
Sebenarnya apa yang ada di benak Bapak tersebut ?
Seorang ikhwan yang bergelantung agak jauh dari bapak tersebut
segera bereaksi. Setelah mengamati gerak-gerik, sorot mata, dan mimik wajah
tersebut, sang akhi ikut memperingatkan sang Bapak. Tapi peringatan ini lain
dari seruan-seruan sebelumnya.
Dengan santun sang akhi berteriak, “Maaf Pak, kalau tangan bapak
nggak di masukkan, nanti sayang lho kalo kena pohon, bisa hancur dan rusak
pohonnya. Apalagi kalo kena tiang listrik, wah nanti tiangnya patah seluruh
kota bisa padam listriknya Pak. Jadi saya usul dimasukkin saja pak tangannya,
biar nggak terjadi kerusakan nantinya…. “
Mendengar usulan sang akhi tersebut, sang Bapak tampak tersenyum.
Ia paham betul dengan peringatan tersebut. Nampaknya ia sepakat dengan sang
akhi. Ia tidak ingin pohon-pohon dan tiang itu rusak karena ulah tangannya.
Makanya dengan cepat ia tarik tangannya ke dalam bus kembali. Selesai persoalan
semua penumpang menjadi lega. Sebagian lain tersenyum sambil berbisik-bisik
menduga-duga.
“Oooo..ternyata Bapak ini dari tadi percaya diri karena yakin
dengan kesaktian tangannya tooo.. Alah-alaaaaaaaah, untung tadi nggak jadi
nabrak pohon.”
Dalam berdakwah, kita juga harus tahu bahasa yang terbaik bagi
setiap orang tentu berbeda, sesuai dengan latar belakang objek dakwah
masing-masing. Bukan sekedar bahasa dakwah, tapi bahasa dakwah yang terbaik.
Akh kita tadi, telah memberi contoh yang sedemikian nyata. Bisakah anda
bayangkan jika tangan sakti sang Bapak terbentur sebuah pohon besar? ————–
Masih mau Sekolah
Seorang ikhwan yang baru saja menyelesaikan studi S1 nya
menghubungi sang Murobby. Apalagi kalau bukan untuk meminta sang ustad
mencarikan jodoh terbaik baginya. Tentu saja sang akhi ini tidak sekedar ingin
menikah, tapi juga siap menikah. Lho, apa bedanya?
Ingin menikah bagi seorang akhi cenderung bersifat objektif.
Artinya ia menginginkan atau menuntut seorang akhwat -yang akan menjadi
istrinya nanti- untuk tampil dengan performance dan sifat yang terbaik,
menurutnya. Bisa jadi ia ingin seorang akhwat yang harus cantik, tinggi, pintar
masak, cerdas, penyabar dan lain sebagainya. Atau bisa jadi ia menginginkan
yang lebih spesifik misalnya seorang dokter, dosen, hafidzah, atau mungkin yang
berasal dari suku tertentu. Lebih parah lagi jika ‘ingin menikah’ di sini
berarti : ingin menikahi ukhti A, B atau C. Yang jenis ini bukan berarti tidak
boleh. Hanya saja, kurang elegan.
Lalu bagaimana dengan siap menikah? Siap menikah bagi seorang akhi
berarti kesiapan dari sisi subjektif dirinya. Artinya, ia akan mengukur
kemampuan dirinya untuk memimpin rumahtangga, tanpa banyak terpengaruh faktor
siapa yang akan mendampinginya. Dengan bahasa lain, dia punya kesimpulan: “yang
penting ana harus siap dan baik dulu, siapapun istri ana dan bagaimanapun dia,
toh ana juga yang harus membimbingnya.” Yang jenis ini lebih elegan. Artinya
siap mental dalam menikah.
Nah kembali ke cerita sang akhi yang selain ingin, juga siap untuk
menikah. Sang murobby yang dikonfirmasi pun menyambut permintaan ini dengan
semangat. Betapa tidak? Bukankah menjodohkan adalah sebuah amalan mulia.
Apalagi yang dijodohkan adalah ikhwan dan akhwat yang masing-masing mempunyai
misi dan visi untuk dakwah?
Maka dimulailah proyek perjodohan yang indah dan terjaga oleh sang
Murobby. Dari mulai tukar biodata sampai ta’aruf belum terlihat ada masalah.
Namun ketika sang murobby mengkonfirmasi kesediaan sang akhwat, ternyata sang
akhwat menolak. Entah sang akhwat punya alasan apa, yang jelas ia hanya bisa
beralasan pada sang murrobby :” Afwan ustad, saya masih mau melanjutkan sekolah
dulu..”
Terpukul hati sang akhi mendengar jawaban sang akhwat. Pikirnya
dalam hati, mengapa kalau masih mau sekolah ia bersedia memberikan biodatanya
dan bahkan sampai proses taaruf?
Sang murrobby pun merasakan hal yang sama. Ada apa gerangan di
balik penolakan ini?
Sang Akhi beritikad baik untuk tetap menikah. Sang murrobby pun
kembali dengan senang hati membantu sang akhi. Dilalui proses dari awal
sebagaimana yang pertama tadi. Namun sayang seribu sayang. Kasus penolakan yang
pertama kembali terulang. Masih dengan alasan yang sama: sang akhwat masih mau
melanjutkan sekolah.
Pusing kembali melanda sang akhi kita ini. Dicobanya sekian kali
untuk berinstropeksi: Adakah yang salah dalam biodatanya? Atau ada kesalahan
kah saat taaruf kemarin? Ah, rasa-rasanya semuanya begitu lancar, tak ada
masalah.
Atau masalah penampilan fisik? Ah, benarkah itu masih menjadi
kriteria yang prinsip di jaman ini? Sang akhi bingung, ia benar-benar belum
menemukan jawaban yang tepat atas kasus penolakan dirinya.
Sang murroby tampaknya ikut merasa bertanggung jawab dengan
penolakan tersebut. Mungkin karena merasa kasihan dengan dua kali penolakan
tersebut, sang murrobby pun berinisiatif untuk ambil langkah yang lain.
Kebetulan ia mempunyai adik perempuan yang juga seorang akhwat. Maka setelah
mengadakan briefing yang intensif terhadap sang adik, dimulailah proses
perjodohan keduanya. Biodata adik sang murroby pun berpindah ke tangan sang akhi
ini. Dengan seksama di baca semua point di dalamnya. Tidak lupa dua lembar foto
ukuran post card juga diperhatikan agak lama.
Sang Murobby yang juga kakak sang akhwat terburu-buru untuk
menanyakan kesediaan sang akhi untuk meneruskan proses.
“Gimana akhi, antum bersedia melanjutkan proses ini kan? “
Sang akhi bingung bukan kepalang. Ada perasaan kurang sreg dalam
dadanya. Lebih-lebih saat melihat dua lembar foto sang akhwat. Diulang-ulang
kembali, sama saja. Ada rasa kurang berkenan yang muncul terus menerus dan
mengganggu.
“Gimana Akhi, sudah siap untuk meneruskan prosesnya?” Pertanyaan
sang murobby menambah kegalauannya. Keringat dingin mulai menetes dari dahinya.
Ia menunduk agak lama.
Sang akhi merenung sejenak, berinstropeksi. Sejurus kemudian ia
mulai mengangkat kepala. Tersenyum. Baru sekarang ia tahu alasan mengapa dua
akhwat yang terdahulu menolak dirinya: kriteria fisik!! Kriteria fisik,
kedengarannya memang lucu. Tapi ternyata ia selalu menjadi begitu kontemporer.
Selalu saja ada di mana saja dan kapan saja.
“Gimana akhi, bisa di jawab sekarang?? “
Dengan sedikit berdehem, sang akhi menjawab, “Afwan Ustad, setelah
saya pikir-pikir, nampaknya saya ‘masih mau melanjutkan sekolah’ saja ustad … “
Lemes tubuh sang murrobby. Namun ia pun tak bisa berbuat apa-apa.
Dalam hati ia berkata : Dasar aktifis jaman kini, masih teguh mempertahankan
kriteria fisik!!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar